Menumbuhkan Cinta Lingkungan pada Murid - Fauziah Rachmawati | Pendidik dan Penulis

Breaking

Iklan

Minggu, 02 November 2025

Menumbuhkan Cinta Lingkungan pada Murid

Menumbuhkan Cinta Lingkungan pada Murid Setiap pagi, sebelum bel sekolah berbunyi, saya punya kebiasaan kecil: berjalan mengelilingi halaman sekolah. Mendengar kicau burung di pepohonan jambu, merasakan embun di rumput yang belum kering, dan melihat anak-anak berlarian dengan wajah cerah. Di saat seperti itu, saya sering berpikir, betapa indahnya dunia ini jika semua orang mau menjaganya. Sebagai seorang guru, setiap langkah kecil di halaman sekolah sering kali membawa renungan besar. Setiap kali melihat murid-murid menanam bibit pohon, memungut sampah tanpa disuruh, atau kagum melihat ulat berubah jadi kupu-kupu, aku merasa, beginilah seharusnya pendidikan berjalan. Membangun kesadaran, bukan sekadar pengetahuan. Alam bukan sekadar latar belajar, tapi ruang hidup yang membentuk karakter. Aku selalu percaya, pendidikan lingkungan tidak bisa berhenti di ruang kelas. Ia harus hidup di halaman sekolah, di sungai yang mengalir di dekat rumah, di udara yang kita hirup bersama. Karena itu, aku mulai mencari referensi, panduan, dan inspirasi tentang bagaimana sekolah bisa ikut menjaga keseimbangan alam. Sebagai guru, saya selalu berusaha menanamkan pada murid-muridku bahwa alam bukan sekadar latar tempat hidup, tapi sahabat yang harus disayangi. Saya sering berkata, “Kalau bumi sakit, manusia pun tak bisa sehat.” Anak-anak biasanya mengangguk, beberapa bertanya polos, “Bu, bumi bisa sakit, ya?” Dan di situlah percakapan kami dimulai, tentang hutan yang gundul, sungai yang kotor, udara yang tak lagi segar. Pelajaran yang Tak Ada di Buku Teks Mengajar tentang alam bukan hal mudah. Buku pelajaran memang punya bab tentang lingkungan, tapi menjaga alam bukan sesuatu yang bisa diajarkan hanya lewat paragraf. Ia harus dihidupkan lewat tindakan, contoh, dan rasa. Menjaga lingkungan tak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan dukungan, sistem, dan keteladanan dari pihak yang benar-benar mengabdikan diri pada bumi. Dan di titik itulah saya mengenal DLH Serang. Menemukan DLH Serang dari Rasa Ingin Tahu yang Tumbuh Suatu malam, sambil mencari inspirasi untuk proyek sekolah bertema “Sekolah Hijau”, saya membuka laman https://dlhserang.org/. Awalnya, saya hanya ingin mencari contoh kegiatan penghijauan yang bisa diterapkan di sekolah. Tapi semakin lama menjelajahi situs itu, saya merasa seakan sedang membaca kisah orang-orang yang mencintai bumi dengan sungguh-sungguh. Di laman itu, saya menemukan berbagai program menarik diantaranya tentang pengelolaan sampah terpadu, edukasi lingkungan di sekolah, hingga gerakan penghijauan di kawasan industri. Semuanya menunjukkan bahwa DLH Serang tidak hanya bekerja di balik meja, tapi turun langsung ke lapangan. Sebagai seorang guru, saya terinspirasi. Karena sejatinya, mengajar dan menjaga lingkungan punya semangat yang sama: sama-sama tentang menumbuhkan kehidupan. Salah satu hal yang membuat saya kagum adalah bagaimana DLH Serang melibatkan masyarakat dan pelajar dalam kegiatannya. Mereka mengajak anak-anak ikut menanam, membersihkan sungai, dan mengenal cara memilah sampah. Bagiku, inilah bentuk pendidikan kontekstual yang sesungguhnya, belajar dari kehidupan nyata, di tempat yang nyata, dengan dampak yang bisa dirasakan langsung. Saya membayangkan, jika setiap sekolah bekerja sama dengan DLH, maka pelajaran “Peduli Lingkungan” tak lagi hanya ada di halaman buku, tapi benar-benar tumbuh di halaman sekolah. Situs itu juga memuat banyak dokumentasi kegiatan. Foto-fotonya sederhana, tapi menyentuh. Ada ibu-ibu membawa karung sampah, anak-anak dengan seragam sekolah memegang bibit pohon, dan petugas DLH yang menanam mangrove di tepi pantai. Semua itu terasa seperti potongan kecil dari mozaik besar yang bernama cinta terhadap bumi. Belajar dari Teladan, Bukan Sekadar Ceramah Saya sadar, selama ini banyak lembaga atau program lingkungan yang berhenti di tataran slogan. Tapi DLH Serang berbeda, mereka menulis, bertindak, dan membagikan prosesnya dengan terbuka. Di laman mereka, tersedia laporan kegiatan, berita, dan informasi publik yang bisa diakses siapa pun. Sebagai guru, saya melihat ini sebagai bentuk keteladanan sosial. Mereka tidak mengajarkan lewat teori, tapi lewat aksi nyata. Dan bukankah itu juga prinsip pendidikan yang baik? Anak-anak akan meniru bukan apa yang kita katakan, tapi apa yang kita lakukan. Maka, ketika membaca tentang program “Bank Sampah” atau “Gerakan Serang Bersih”, saya tidak melihatnya sekadar proyek pemerintah. Saya melihatnya sebagai kelas terbuka, tempat kita semua bisa belajar menjadi warga bumi yang lebih baik. Andai saya tinggal di Kabupaten Serang, saya ingin mengajak murid-murid berkunjung langsung ke DLH. Bukan untuk sekadar melihat kantor, tapi untuk belajar dari orang-orang yang bekerja menjaga bumi. Mungkin kami akan bertanya, “Bagaimana cara kalian memisahkan limbah?” atau “Kenapa pohon mangrove penting bagi laut?” Saya yakin, pengalaman seperti itu akan jauh lebih bermakna daripada seratus halaman teori. Karena pendidikan lingkungan bukan tentang menghafal fakta, tapi menumbuhkan rasa cinta. Dan di luar itu, saya berharap lembaga seperti https://dlhserang.org/ DLH Serang terus memperluas jangkauan edukatifnya, mungkin dengan membuat modul belajar sederhana, video edukasi anak, atau program kunjungan sekolah. Dengan begitu, lebih banyak guru bisa menjadikan kegiatan mereka sebagai contoh nyata pembelajaran yang hidup kepada murid. Karena menjaga alam sejatinya adalah menjaga masa depan murid-murid kita.

Menumbuhkan Cinta Lingkungan pada Murid

Setiap pagi, sebelum bel sekolah berbunyi, saya punya kebiasaan kecil: berjalan mengelilingi halaman sekolah. Mendengar kicau burung di pepohonan jambu, merasakan embun di rumput yang belum kering, dan melihat anak-anak berlarian dengan wajah cerah.
Di saat seperti itu, saya sering berpikir, betapa indahnya dunia ini jika semua orang mau menjaganya.

Sebagai seorang guru, setiap langkah kecil di halaman sekolah sering kali membawa renungan besar. Setiap kali melihat murid-murid menanam bibit pohon, memungut sampah tanpa disuruh, atau kagum melihat ulat berubah jadi kupu-kupu, aku merasa, beginilah seharusnya pendidikan berjalan. Membangun kesadaran, bukan sekadar pengetahuan. Alam bukan sekadar latar belajar, tapi ruang hidup yang membentuk karakter.

Aku selalu percaya, pendidikan lingkungan tidak bisa berhenti di ruang kelas. Ia harus hidup di halaman sekolah, di sungai yang mengalir di dekat rumah, di udara yang kita hirup bersama. Karena itu, aku mulai mencari referensi, panduan, dan inspirasi tentang bagaimana sekolah bisa ikut menjaga keseimbangan alam.

Sebagai guru, saya selalu berusaha menanamkan pada murid-muridku bahwa alam bukan sekadar latar tempat hidup, tapi sahabat yang harus disayangi. Saya sering berkata, “Kalau bumi sakit, manusia pun tak bisa sehat.”
Anak-anak biasanya mengangguk, beberapa bertanya polos, “Bu, bumi bisa sakit, ya?”
Dan di situlah percakapan kami dimulai, tentang hutan yang gundul, sungai yang kotor, udara yang tak lagi segar.

Pelajaran yang Tak Ada di Buku Teks

Mengajar tentang alam bukan hal mudah. Buku pelajaran memang punya bab tentang lingkungan, tapi menjaga alam bukan sesuatu yang bisa diajarkan hanya lewat paragraf. Ia harus dihidupkan lewat tindakan, contoh, dan rasa.

Menjaga lingkungan tak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan dukungan, sistem, dan keteladanan dari pihak yang benar-benar mengabdikan diri pada bumi.
Dan di titik itulah saya mengenal DLH Serang.

Menemukan DLH Serang dari Rasa Ingin Tahu yang Tumbuh

Suatu malam, sambil mencari inspirasi untuk proyek sekolah bertema “Sekolah Hijau”, saya membuka laman https://dlhserang.org/.
Awalnya, saya hanya ingin mencari contoh kegiatan penghijauan yang bisa diterapkan di sekolah. Tapi semakin lama menjelajahi situs itu, saya merasa seakan sedang membaca kisah orang-orang yang mencintai bumi dengan sungguh-sungguh.

Di laman itu, saya menemukan berbagai program menarik diantaranya tentang pengelolaan sampah terpadu, edukasi lingkungan di sekolah, hingga gerakan penghijauan di kawasan industri.
Semuanya menunjukkan bahwa DLH Serang tidak hanya bekerja di balik meja, tapi turun langsung ke lapangan.

Sebagai seorang guru, saya terinspirasi. Karena sejatinya, mengajar dan menjaga lingkungan punya semangat yang sama: sama-sama tentang menumbuhkan kehidupan.

Salah satu hal yang membuat saya kagum adalah bagaimana DLH Serang melibatkan masyarakat dan pelajar dalam kegiatannya. Mereka mengajak anak-anak ikut menanam, membersihkan sungai, dan mengenal cara memilah sampah.

Bagiku, inilah bentuk pendidikan kontekstual yang sesungguhnya, belajar dari kehidupan nyata, di tempat yang nyata, dengan dampak yang bisa dirasakan langsung.
Saya membayangkan, jika setiap sekolah bekerja sama dengan DLH, maka pelajaran “Peduli Lingkungan” tak lagi hanya ada di halaman buku, tapi benar-benar tumbuh di halaman sekolah.

Situs itu juga memuat banyak dokumentasi kegiatan. Foto-fotonya sederhana, tapi menyentuh. Ada ibu-ibu membawa karung sampah, anak-anak dengan seragam sekolah memegang bibit pohon, dan petugas DLH yang menanam mangrove di tepi pantai.
Semua itu terasa seperti potongan kecil dari mozaik besar yang bernama cinta terhadap bumi.

Belajar dari Teladan, Bukan Sekadar Ceramah

Saya sadar, selama ini banyak lembaga atau program lingkungan yang berhenti di tataran slogan. Tapi DLH Serang berbeda, mereka menulis, bertindak, dan membagikan prosesnya dengan terbuka.
Di laman mereka, tersedia laporan kegiatan, berita, dan informasi publik yang bisa diakses siapa pun.

Sebagai guru, saya melihat ini sebagai bentuk keteladanan sosial. Mereka tidak mengajarkan lewat teori, tapi lewat aksi nyata. Dan bukankah itu juga prinsip pendidikan yang baik?
Anak-anak akan meniru bukan apa yang kita katakan, tapi apa yang kita lakukan.

Maka, ketika membaca tentang program “Bank Sampah” atau “Gerakan Serang Bersih”, saya tidak melihatnya sekadar proyek pemerintah. Saya melihatnya sebagai kelas terbuka, tempat kita semua bisa belajar menjadi warga bumi yang lebih baik.

Andai saya tinggal di Kabupaten Serang, saya ingin mengajak murid-murid berkunjung langsung ke DLH. Bukan untuk sekadar melihat kantor, tapi untuk belajar dari orang-orang yang bekerja menjaga bumi. Mungkin kami akan bertanya, “Bagaimana cara kalian memisahkan limbah?” atau “Kenapa pohon mangrove penting bagi laut?”

Saya yakin, pengalaman seperti itu akan jauh lebih bermakna daripada seratus halaman teori. Karena pendidikan lingkungan bukan tentang menghafal fakta, tapi menumbuhkan rasa cinta.

Dan di luar itu, saya berharap lembaga seperti https://dlhserang.org/ DLH Serang terus memperluas jangkauan edukatifnya, mungkin dengan membuat modul belajar sederhana, video edukasi anak, atau program kunjungan sekolah. Dengan begitu, lebih banyak guru bisa menjadikan kegiatan mereka sebagai contoh nyata pembelajaran yang hidup kepada murid.

Karena menjaga alam sejatinya adalah menjaga masa depan murid-murid kita.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung di blog saya, semoga bermanfaat. Jangan lupa komen ya