Selubung Dosa Melingkup Nurani*
Cerpen Fauziah Rachmawati
Sebenarnya itu juga bukan mauku. Kau yang memaksaku
ada, kau yang menyebabkan diri ini terbentuk. Karena perbuatanmu itulah kini
aku harus ada di sini. Terkurung dalam sepi.
Setiap hari harus menerima perlakuan yang tak
semestinya. Tak jarang perutku lapar, ini karena kau lupa memberiku makan. Lupa
atau memang sengaja? Bahkan terkadang aku harus rela memasukkan makanan pahit
itu ke mulutku.
Kurang uangkah kau, hingga tak memberiku makan.
Untuk apa uang sebanyak itu dari orang tuamu. Tak jarang kau habiskan uangmu
untuk ke salon dan klub malam. Ironis sekali kalau kau tak
mampu memberiku makan.
Pagi ini seperti biasa, aku tetap dalam sepi. Rasa
lapar ini tak sanggup kutahan.
“May ini kubelikan nasi, makanlah walau sedikit
saja. Kasihan ia, sudah dua hari ini tak kau beri makan,”terasa belaian lembut
dari tante Hera. Ia yang selalu perhatian padaku.
“Aku belum lapar! Lagian aku memang ingin dia mati.
Aku tidak ingin melihat wajahnya di hadapanku,”perempuan itu memukuliku lagi.
“Jangan lakukan itu May, kasihan dia. Biarkan dia hidup!”tangan tante Hera menjauhkan
tangan jahat itu dari diriku.
“Her,” katanya sambil menangis.
“Ya?” tanya tante yang kuliah di jurusan
perawat itu
“Aku ingin membunuhnya. Aku menerima tawaran Roy untuk membunuhnya. Dia akan datang ke sini nanti sore. Kami akan pergi
ke dokter…”katanya panjang lebar.
“Jangan lakukan itu May, dosa! Aku tahu kamu banyak masalah, sekarang tidurlah. Biar
kubuatkan teh hangat ya,”itulah yang kusuka dari tante Hera, penuh kasih
sayang.
“Tidak Her, aku harus melakukannya. Apa yang terjadi kalau orangtuaku tahu hal ini? Mau
ditaruh dimana mukaku? Coba pikirkan Her!” tanyanya.
“Mengapa baru sekarang kau memikirkan hal ini?
Mengapa tak dulu, sebelum kau melakukan perbuatan itu? Mengapa? Mengapa kau
sadar setelah dia hadir?”ujarnya lirih.
“Aku tahu aku salah! Tapi, coba apa yang kau lakukan
seandainya itu kamu?”keringat ibuku bercucuran.
“Tetap merawatnya,”katanya.
“Maaf Her, aku bukan kau!”ibu berjalan menjauhi mbak
Hera.
“May, pilihanmu itu berbahaya, iya kalau hanya dia
yang mati? Kalau kamu juga bagaimana? Kalaupun kamu masih hidup, resikonya
terlalu besar! Kau bisa terkena penyakit
berbahaya. Kau tahukan kanker leher
rahim?” perkataan ini membuat ibuku menghentikan langkahnya.
”Itu adalah penyakit yang telah banyak merenggut nyawa kaum wanita. Aku
bukannya menakuti kamu, namun bisa saja semua itu menimpamu suatu saat.” lanjut
tante Hera.
“Cukup Her! Biarpun kau membujukku aku akan
tetap melakukannya!”sambil menoleh ke mbak Hera.
“May, dulu
juga ada temanku yang setelah melakukan aborsi jadi gila. Dia terpukul atas
perbuatannya sendiri. Hampir setiap hari dia mimpi buruk. Hingga akhirnya
mencoba untuk bunuh diri, walau akhirnya gagal.”tante berambut panjang ini
berjalan menyusul ibu.
“Doakan
saja aku tak seperti itu,”kata ibu sambil meneruskan langkahnya.
Aku hanya
bisa menatap tante Hera dari jauh. Dia terdiam memandang kami yang
meninggalkannya.
. . .
Sore ini dia mengajakku ke sebuah
bangunan bercat putih. Bersih dan rapi, namun penuh
dengan aroma obat yang menyengat. Terlihat seorang lelaki berpakaian putih dan
berkacamata datang menghampiri kami. Dia menyalami ibu dan bapakku.
Setelah basa-basi sebentar, ibu menjelaskan semua
permasalahan yang terjadi dan mengemukakan keinginannya untuk membunuhku. Ya
Allah mengapa perempuan yang akan melahirkanku tega berkata begitu di depanku
sendiri. Dan aku hanya bisa diam.
Setelah berbicara dan memperoleh kesepakatan, dokter
itu mempersilahkan ibu berbaring di kasur warna putih. Kemudian datang dua
orang dengan pakaian sama sambil membawa peralatan. Alat-alat yang dibawanya
membuatku merinding.
Terlihat sebuah alat suntik yang berisi cairan
bening di tangan lelaki yang hendak menghabisiku, ditusukkannya cairan itu pada
ibu. Selain itu mereka membawa alat yang aneh. Seperti pipa dengan ujung tajam. Tak
lama kemudian lubang leher rahim ibuku dibuat lebih besar
“Bagaimana
sudah melebar?”tanya lelaki itu pada perempuan sebelahnya.
“Sudah,”jawabnya
singkat.
“Masukkan tabung
itu ke dalam rahim dan hubungkan dengan alat penyedot yang kuat ini!”perintahnya.
Dua
asisten itu langsung bekerja sesuai perintah. Sebuah mesin penyedot bertenaga
kuat dengan ujung tajam dimasukkan ke dalam rahim lewat mulut rahim yang
sengaja dimekarkan
Aku mulai bergerak di dalam ruangan suci ini. Mencoba
menyelamatkan diri darinya. Namun tiba-tiba monster itu datang menuju ke arahku. Menyerang dan
berusaha menghancurkan. Aku memberontak melawannya, namun diri ini terlalu
lemah. Hingga tak ada daya untuk menghalangi amukannya.
Apa salahku, mengapa dia tak mengizinkanku
untuk keluar. Walau hanya sejenak. Hampir
tiga bulan aku terkurung di sini. Tanpa cahaya, tanpa kasih sayang. Rasa sepi
yang menghantuiku membuatku butuh belaiannya. Namun apa yang kutrima, rasa
benci dan sikap tak bersahabat bahkan menghancurkan.
Degup jantungku berdetak lebih cepat, tubuhku
bergerak ke kanan dan ke kiri menghindari ulah monster mengerikan itu. Rasa
takut ini tak terbendung lagi. Aku menjerit keras, keras sekali. Hingga sesak
tenggorokan, tapi rupanya dia tak mendengar. Tak trenyuh dengan rintihanku. Tak
terketuk untuk membebaskan.
Sungguh kalian manusia tak punya hati. Tidakkah kau
rasakan rasa sakit yang kuderita, rasa takut yang menghantuiku. Apa gunanya kau
sekolah tinggi, tapi tak punya perasaan.
Hantu itu terus bergentayangan, bentuknya panjang
seperti pipa. Sepertinya dia hendak mendekap tubuh mungilku ini. Monster itu
kembali bergerak, mengikuti ke mana arahku pergi.
Ya Allah lindungi hamba-Mu. Semoga perempuan
ini sadar dan tidak meneruskan rencana bejatnya serta menerimaku apa adanya.
Tanpa memperdulikan omongan orang. Mudah-mudahan dia tahu, betapa menderitanya
aku di dalam sini.
Jeritanku tak terdengar olehnya. Monster itu
kembali beraksi, tempat ini terasa sempit. Aku tak bisa menghindar lagi. Mulut
pipanya terbuka, hendak menelanku hidup-hidup.
Alat penghisap itu membuatku terpaksa membuka mulut. Aku terus
menghindar. Jeritan bisuku sia-sia. Rupanya mereka berusaha untuk
menyingkirkanku. Aku terlalu lemah melawan semua ini, aku tak sanggup. Bahaya
semakin gencar untuk memusnahkanku. Dan entah untuk keberapa kalinya, mulut ini
hanya bisa menjerit kesakitan.
Beberapa saat kemudian alat penghisap itu menarik ari-ari dari
dinding rahim. Terlihat darah, cairan ketuban dan bagian-bagian plasenta serta
tubuhku terkumpul dalam botol yang dihubungkan dengan alat penyedot ini. Hingga akhirnya kusadari kalau tubuhku terasa
ringan. Perlahan aku terbang meninggalkan ibu.
Lalu potongan itu satu-persatu dikeluarkan. Tak
berperasaan! Tanpa merasa jijik mereka menyusun tubuhku seperti bentuk bayi
normal.
“Jangan sampai ada yang terlewat!”katanya.
Dua perawat itu mengangguk. Tangan mereka sibuk
menata kepingan-kepingan badanku.
“Pak, nomor satu belum keluar!”serunya.
Mereka menyebut kepalaku dengan sebutan si
nomor satu. Ya iyalah, kepalaku kan terlalu
besar untuk dapat melewati pipa penghisap itu.
“Ambilkan tang!”perintahnya.
Sebuah alat yang mereka sebut tang kini
dimasukkan ke dalam rahim. Kepalaku yang masih mengambang dicengkeramnya dan
kemudian dihancurkan menjadi potongan kecil agar dapat melewati tabung
penghisap.
“Apakah semuanya selesai?” tanyanya sambil
mengeluarkan kepalaku dan meletakannya ke atas meja.
Setelah semua keluar, kembali mereka menyusun
tubuhku hingga nampak seperti bayi sempurna.
Namun tiba-tiba...
“Pak, darah perempuan ini terus mengalir!”kata
salah seorang perawat.
“Kalau tidak berhenti, dia bisa mati kehabisan
darah!”sahut seorang perawat yang satunya lagi.
“Kau! Bantu aku menghentikan pendarahan ini!”
tunjuknya pada perempuan di sampingnya.
“Dan kau! Susun daging-daging ini! Jangan
sampai ada yang ketinggalan”lelaki ini kelihatan panik.
Suasana menjadi hening. Semua sibuk dengan
tugasnya masing-masing. Tangan mereka berlumuran darah. Namun keheningan itu
dikagetkan oleh ucapan salah satu perawat.
“Maaf dok,
dia tak bisa diselamatkan lagi,”ujar perawat, lirih.
Dokter
berkaca mata minus itu ambruk di atas kursi, sambil menghela napas panjang.
Salah
seorang perawat yang satunya memanggil bapak dan menceritakan yang terjadi.
Bapak yang dari kemarin semangat membunuhku, kini menangis di hadapan ibu dan
onggokan daging di atas meja. Dia memukul-mukul dokter jahat yang membuat
nyawaku melayang.
“Maafkan
kami pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.” Sahut pak dokter.
“Maaf? Apa
dengan maaf mereka bisa kembali? Apa yang harus kukatakan pada orang tuanya? Apa?
Jawab!” tangan bapakku mencengkeram krah baju pak dokter.
“Lepaskan
Pak!” dua perawat itu berusaha memisahkan mereka.
Tubuh
bapakku ambruk di lantai. Linangan air mata memenuhi pipi dan bajunya.
Ditatapnya wajah ibuku yang pucat. Dibelai halus kulitnya dan dicium keningnya.
“Maafkan
aku May,”bisiknya.
Bunda
Tahukah kau…
Aku begitu menyayangimu
Begitu rindu belaianmu
Begitu haus kasih sayangmu
Begitu mendambakan perhatian darimu
Tapi
Mengapa kau membenciku?
Apa salah dosaku?
Hingga kau tak berkenan bila aku hadir di pangkuanmu
Tak maukah kau mendengar tangisku
Tak inginkah kau melihat senyum dariku
Tak terbesitkah keinginan untuk menimangku
Tak adakah rindu seperti rindu yang kurasakan
Mungkin kehadiranku membuatmu malu
Membuat namamu hancur
Di depan teman-teman, saudara, tetangga, dan
orang tua
Tapi apa itu salahku?
Salahkah jika aku benar-benar ada?
Bunda
Ketauhilah aku tetap sayang kamu
Tetap mendoakanmu
Supaya Allah mengampuni perbuatanmu
2006
Juara I tingkat Regional
Lomba Sains dalam Sastra Universitas Negeri
Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung di blog saya, semoga bermanfaat. Jangan lupa komen ya