Makalah Perkembangan Moral Anak - Fauziah Rachmawati | Pendidik dan Penulis

Breaking

Iklan

Minggu, 13 Juni 2021

Makalah Perkembangan Moral Anak

 

Makalah Perkembangan Moral Anak


MAKALAH

perkembangan moral  anak


A.    Hakekat Moral

Secara estimologi kata ”moral” berasal dari kata Latin ”mos” yang berarti tata-cara, adat istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah ”mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmanastiti, 1991 dalam Asri Budiningsih, 2004). Dalam arti adat istiadat atau kebijaksanaan, kata ”moral” mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani ”ethos”,yang menurunkan kata ”etika”. Dalam bahasa Arab kata ”moral” berarti budi pekerti adalah sama dengan ”akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ”moral” dikenal dengan arti ”kesusilaan”. (Bambang Daroeso, 1989).

Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila (Grinder, 1978) dalam Asri Budiningsih, 2004. Sedangkan Baron, dkk (1980) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar. Magic-Suseno (1987) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.

Menurut Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008) moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Magic-Suseno,1987 dalam Asri Budiningsih 2004 menjelaskan bahwa sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas diartikan sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (Magic-Suseno,1987) dalam Asri Budiningsih 2004.

Kohlberg  dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thinking dan moral-judgement  sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian sama dan digunakan secara bergantian. Istilah itu dialih bahasakan menjadi penalaran moral. Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, daripada sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Penalaran moral inilah yang akan mencerminkan perbedaan kematangan moral tersebut.

Santrock mengemukakan pengertian moralitas yaitu perilaku proporsional ditambah beberapa sifat seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan orang lain. Kolhberg (dalam Santrock, 2002: 370) menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap.

Hal ini disebabkan pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki moral yang baik. “This last point is further emphasized by another study that shows no relation between moral knowledge and moral behavior”(D. McRae. dalam Lawrence E. Shapiro,1997: 530). Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan yang baik dan buruk. Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang memiliki visi dan masa depan sangatlah penting. Lewat orangtua, anak-anak belajar segala sesuatu mengungkapkan bahwa penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi perkembangan moral anak  (Elida Prayitno, 2005:175 ).

Wila Huky B.A. mengatakan : kita memahami moral dengan tiga cara:

a.   Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam ligkungannya.

b.   Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam linkungan tertentu.

c.   Moral adalah ajaran tentang tigkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu (Bambang Daroeso, 1989:22)

Seseorang dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Seseorang yang bermoral akan tampak pada penalaran moralnya serta pada perilakunya (moralitas) yang baik, benar dan sesuai dengan etika. Artinya, ada kesatuan dan keselarasan antara penalaran moralnya adan perilaku moralnya (moralitas).

Menurut Blasi dalam Asri Budiningsih 2004 menyatakan bahwa perilaku moral akan begitu sempit jika hanya dibatasi pada perilaku moral (moralitas) yang dapat dilihat saja. Perilaku moral meliputi hal-hal yang dapat dilihat dalam bentuk tindakan moral dan hal-hal yang tidak dapat dilihat. Penalaran moral untuk membuat suatu keputusan dalam melakukan suatu tindakan moral adalah perilaku yang tidak dapat dilihat tetapi dapat ditelusuri dan dapat diukur. Menurut Kohlberg (1977) penalaran atau pemikiran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral. Artinya, pengukuran perilaku moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut.

B.    Perkembangan Moral

Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Selain itu, perkembangan moral dapat juga dikatakan sebagai perubahan penalaran, perasaan dan perilaku tentang standar benar dan salah.

Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral yang disebut dengan immoral. Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain misalnya dengan orang tua, saudara, teman sebaya dan guru, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan, tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Oleh sebab itu mereka akan melakukan suatu tindakan, dimana tindakan tersebut akan ternilai sebagai tindakan moral yang ternilai baik atau sebaliknya.

Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi social dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik. Dimensi perkembangan moral ini membahas tentang penalaran moral, perasaan moral, perilaku moral dan kepribadian moral.

1.     Penalaran Moral

Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, daripada sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur pemikiran bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg, 1977: 1981). Penalaran-penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah akan lebih menjelaskan daripada memperhatikan individu tindakan (perilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975). Piaget dan Kohlberg adalah tokoh yang telah mengadakan studi dalam proses perkembangan anak.

Tahap-tahap perkembangan penalaran moral menurut Kohlberg (1980) yaitu:

1.     Ada prinsip-prinsip moral dasar yang mengatasi niali-nilai moral lainnya dan prinsip-prinsip moral dasar itu merupakan akar dari nilai-niali moral lainnya.

2.     Manusia tetap merupakan subjek yang bebas dengan nilai-nilai yang berasal dari dirinya sendiri.

3.     Dalam bidang penalaran moral ada tahap-tahap perkembangan yang sama dan universal bagi setiap kebudayaan.

4.     Tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini banyak ditentukan oleh factor kognitif atau kematangan intelektual.

2.     Perasaan Moral

Empati, berasal dari kata pathos (dalam bahasa yunani) yang berarti perasaan yang mendalam. Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang mirip dengan perasaan orang lain tersebut. Berempati lebih dari sekedar simpati, beremapti berarti menempatkan diri pada posisi orang lain secara emosional. Empati adalah sebuah keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitif-kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain.

3.     Perilaku Moral

Reinforcement, punishment, imitasi, situasi dan kontrol diri dalam menghadapi godaan merupakan hal yang mempengaruhi apakah seseorang berperilaku sesuai moral atau tidak.

4.     Kepribadian Moral

Tiga aspek kepribadian moral meliputi:

a.     Identitas moral. Individu memiliki sebuah identitas moral ketika ide-ide dan komitmen moral merupakan hal yang utama dalam kehidupan mereka (Blasi, 2005). Mereka menyusun diri bereferensi pada kategori-kategori moral. Pelanggaran terhadap komitmen moral mereka akan membahayakan integritas dirinya. Perkembangan identitas moral dipengaruhi oleh tiga kebijakan penting, yaitu (1) kemauan (kontrol diri) yaitu strategi dan skill metakognitif yang melibatkan analisis masalah, penetapan tujuan, penagturan atensi, penundaan pemuasan, penghindaran distraksi dan penahanan godaan, (2) integritas yang terdiri dari rasa tanggung jawab yang ada ketika individu merasa dirinya bertanggung jawab terhadap konsekuensi perilaku mereka, (3) hasrat moral adalah motivasi dan intense untuk mengejar kehidupan moral.

b.     Karakter moral. Merupakan seberapa kuat pendirian individu, perdidtensi dalam menghadapi gangguan dan hambatan. Karakter moral mensyaratkan seseorang memiliki satu set tujuan moral dan pencapaian tujuan tersebut melibatkan komitmen untuk bertindak sesuai dengan tujuan tersebut.

c.     Teladan moral. Merupakan orang-orang yang hidup dengan gaya hidup yang patut dicontoh. Orang ini memiliki kepribadian moral, identitas, karakter dan set kebajikan yang mencerminkan komitmen dan kesempurnaan moral.

 

C.    Tahapan Perkembangan Moral

Tahap-tahap perkembangan moral tidak dapat berbalik (irreversible), yaitu bahwa suatu tahapan yang telah dicapai oleh seseorang tidak mungkin kembali mundur ke tahapan di bawahnya (Kohlberg, 1977;19808b). misalnya, seseorang ayng telah berada pada tahap-5 tidak akan kembali pada tahap-3 atau tahap-4. Tendensi gerakan umum, proses perkembangan penalaran moral cukup jelas, yaitu bergerak maju dari tahap-1 sampai tahap-6 dan gerak maju itu bersifat proses diferensiasi dan integrasi yang semakin tinggi dan menghasilkan pula peningkatan dalam hal universal. Dewey berpendapat bahwa proses perkembangan dan pertumbuhanlah yang merupakan tujuan universal pendidikan moral.

Menurut Kohlberg tahapan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan pada pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam tiga tingkatan, yaitu : (1) tingkat pra-moral atau pre-conventional, (2) tingkat conventional, (3) tingkat autonomous. Pemikiran Dewey dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget dengan menetapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur yaitu (1) tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur di bawah 4 tahun, (2) tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara 4-8 tahun, dan (3) tahap otonomous  yaitu anak yang berumur 9-12 tahun.

 

1.     Tahap Perkembangan Moral Piaget

Menurut Piaget (dalam Slavin, 2008:69). Sebagaimana kemampuan kognitif, Piaget berpendapat bahwa perkembangan moral berlangsung dalam tahap-tahap yang dapat diprediksi, yakni dari tipe penalaran moral yang sangat egosentris ke tipe penalaran moral yang didasarkan pada sistem keadilan berdasarkan kerjasama dan ketimbalbalikan

Ketertarikan pada bagaimana anak berpikir mengenai isu moral dipicu oleh Piaget (1932) yang secara ekstensif mengamati dan mewawancarai anak-anak dari usia 4-12 tahun. Piaget mengamati anak-anak yang bermain kelereng untuk mengetahui bagaimana mereka menggunakan dan memikirkan aturan permainan. Dia juga bertanya tentang isu etis, contohnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.

Piaget menyimpulkan bahwa anak melewati 2 tahap yang berbeda dalam cara mereka berpikir tentang moralitas.

a.     Moralitas Heteronom (4-7 tahun)

Merupakan tahap pertama dari teori perkembangan moral Piaget. Anak berpikir bahwa keadilan dan peraturan adalah property dunia yang tidak bisa diubah dan tidak bisa dikontrol oleh orang.

Beberapa ciri dalam tahap ini antara lain:

-       Anak menilai kebenaran atau kebaikan perilaku berdasarkan konsekuensinya,

bukan berdasarkan niat dari perilaku. Sebagai contoh, memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk dibandingkan dengan memecahkan 1 gelas dengan sengaja.

-       Anak percaya bahwa aturan tidak bisa diubah dan diturunkan oleh sebuah otoritas yang maha kuasa. Contohnya ketika Piaget menyarankan anak-anak agar membuat peraturan baru dalam bermain kelereng, mereka menolak.

-       Anak percaya adanya immanent justice, sebagai konsep bahwa ketika peraturan dilanggar maka hukuman akan langsung mengiringi pelanggaran tersebut. Anak percaya bahwa pelanggaran terhubung langsung secara otomatis dengan hukumannya. Sehingga, seringkali anak kecil melihat sekelilingnya dengan perasaan khawatir ketika berbuat salah, takut terhadap adanya immanent justice.

Dari usia 7-10 tahun anak berada masa transisi, yang menunjukkan sebagian ciri-ciri dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua, moralitas otonom.

b.     Moralitas Otonom

Pada tahap ini anak sadar bahwa aturan dan hukum dibuat oleh manusia dan ketika menilai sebuah perbuatan mereka mempertimbangkan niat dan juga konskuensinya. Ketika anak berkembang ke tahap ini, niat mulai dipertimbangkan. Anak mulai menerima dan menyadari bahwa peraturan adalah konvensi yang disepakati dan dapat diubah (terlihat ketika ada saran untuk mengubah aturan dalam permainan kelereng, anak pada tahap otonom ini mau menerima perubahan).

Anak dalam tahap ini menyadari bahwa hukuman terjadi hanya jika ada saksi mata terhadap pelanggaran, bahkan dengan ini pun bukan berarti bahwa hukuman adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan.

Bagaiman perubahan dalam cara berpikir moral ini bisa terjadi?

Piaget berpendapat bahwa ketika anak berkembang, mereka dapat berpikir lebih rumit mengenai masalah sosial terutama terhadap kemungkinan dan kondisi kerjasama. Piaget percaya bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui saling memberi dan menerima dalam hubungan teman sebaya. Di dalam peer group (kelompok sebaya), di mana anggotanya memiliki status dan kekuatan yang sama, rencana biasanya dikoordinasikan dan dirundingkan dan perbedaan pendapat dibahas dan pada akhirnya bisa diselesaikan. Hubugan orang-tua anak, dimana orang tua memiliki kekuatan yang tidak dimiliki anak akan lebih tidak mungkin mengembangkan penalaran moral, karena seringkali peraturan diturunkan dengan cara otoriter.

 

2.     Tahapan Moral Kohlberg.

Seperti juga Piaget, Lawrence Kohlberg (1958, 1976, 1986) menekankan bahwa cara berpikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini bersifat universal. Kohlberg menggambarkan 3 tingkatan penalaran tentang moral, dan setiap tingkatannya memiliki 2 tahapan.

a.     Penalaran Prakonvensional

Merupakan tingkatan terendah dari penalaran moral menurut Kohlberg. Pada tingkat ini, baik dan buruk diintepretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman) eksternal. Pada tingkat ini seseorang sangat tanggap terhadap aturan-aturan kebudayaan dan penilaian baik atau buruk, tetapi ia masih menafsirkan baik atu buruk ini dalam rangka maksimalisasi kenikmatan atau akibat-akibat fisik dari tindakannya (hukuman fisik, penghargaan, imbalan, tukar-menukar kebaikan). Kecenderungan utamanya dalam interaksi dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistis). Pada tingkat ini perasaan dominan yang berkembang adalah rasa takut.

-       Tahap 1: Moralitas heteronom, adalah tahap pertama pada tingkat penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran moral terkait dengan punishment.

Sebagai contoh, anak berpikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut terhadap hukuman perilaku membangkang.

-       Tahap 2: Individualism, tujuan instrumental, dan pertukaran. Pada tahap ini, penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. karena itu, menurut mereka apa yang benar adalah sesuatu yang melibatkan pertukaran setara. Meeka berpikir jika mereka baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik terhadap mereka.

b.     Penalaran Konvensional

Pada tingkat ini, individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua asuh atau pemerintah. Pada tahap ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Dalam keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki aturan standar sendiri. Perasaan dominan pada tahap ini adalah malu.

-       Tahap 3: Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan konformitas interpersonal, merupakan tahap ketiga dari perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, individu menghargai kepercayaan, perhatian dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar dari penialain moral. Anak dan remaja sering kali mengadopsi standar moral orang tua pada tahap ini, agar dianggap oleh orang tua sebagai anak yang baik.

-       Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan dan kewajiban. Sebagai contoh, remaja mungkin berpikir, supaya komunitas dapat bekerja dengan efektif perlu dilindungi hukum yang diberlakukan terhadap anggotanya.

c.     Penalaran Pascakonvensional

Adalah tingkatan tertinggi dlam teori Kohlberg. Pada tingkat ini, individu menyadari adanya jalur moral alternatif, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutuskan berdasarkan kode moral personal. Orang pada tahap ini sadar bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan yang muncul dalam tahap ini adalah rasa bersalah dan yang menjadi ukuran keputusan moral adalah hati nurani.

-       Tahap 5 : Kontrak atau utilitas sosial dan hak individu.  Pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak dan prinsip lebih utama atau lebih luas daripada hukum. Seseorang mengevaluasi validitas hukum yang ada dan sistem sosial dapat diuji berdasarkan sejauh mana hal ini menjamin dan melindungi hak asasi dan nilai dasar manusia.

-       Tahap 6 : Prinsip etis universal. Merupakan tahapan tertinggi dalam perkembangan moral. Pada tahap ini seseorang mengembangkan standar moral berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika dihadapkan dengan pertentangan antara hukum dan hati nurani, sesorang menalar bahwa yang harus diikuti adalah hati nurani, meskipun keputusan itu dapat memberikan resiko. Tindakan yang benar adalah tindakan yang berdasarkan keputusan yang sesuai dengan suara hati dan prinsip moral universal. Prinsip moral ini bersifat abstrak dan di dasar lubuk hati terdapat prinsip universal yaitu keadilan, kesamaan hak-hak asasi manusia dan hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi.

Kohlberg percaya bahwa tingakatan dan tahapan terjadi secara berurutan dan terkait dengan usia. Perkembangan moral ini berkembang setahap demi setahap dan tidak pernah meloncat. Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak menggunakan tingkat 1, penalaran prakonvensional, ketika mereka dihadapkan pada pilihan moral. Ketika berada pada masa remaja awal, kebanyakan mereka menalar dengan cara yang lebih konvensional. Kebanyakan remaja menalar dengan tahap 3 dan beberapa tanda pada tahap 2 dan 4. Ketika berada pada masa dewasa muda, beberapa orang menalar dengan cara pascakonvensional.

Perkembangan penalaran moral dapat berakhir pada tahap mana pun, maka peran pendidik adalah menciptakan iklim untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi. Seorang yang memahami prinsip-prinsip yang terdapat pada tahapannya sekarang dan ia mempunyai peluang untuk memahami satu tahap di atasnya atau tahap-tahap yang telah dilampauinya.

Asri Budiningsih, 2004: 31-32 menyebutkan secara ringkas alasan-alasan atau motif-motif yang diberikan bagi kepatuhan terhadap peraturan atau perbuatan moral, yaitu:

1.     Tahap 1: patuh pada aturan untuk menghindarkan hukuman.

2.     Tahap 2 : menyesuaikan diri (conform) untuk mendapatkan ganjaran, kebaikannya dibalas dan seterusnya.

3.     Tahap 3 : menyesuaikan diri untuk menghindarkan ketidaksetujuan, ketidaksenangan orang lain.

4.     Tahap 4: menyesuaikan diri untuk menghindarkan penilaian oleh otoritas resmi dan rasa diri bersalah yang diakibatkannya.

5.     Tahap 5: menyesuaikan diri untuk memelihara rasa hormat dari orang netral yang menilai dari sudut pandang kesejahteraan masyarakat.

6.     Tahap 6 : menyesuaikan diri untuk menghindari penghukuman atas diri sendiri.

Meskipun penalaran moral dalam setiap tahap mensyaratkan tingkat perkembangan kognitif tertentu, Kolhberg berpendapat bahwa kemajuan dalam perkembangan kognitif anak tidak menentukan perkembangan penalaran moral. Tetapi penalaran moral mencerminkan pengalaman anak dalam menghadapi pertanyaan moral dan konflik moral.

Kohlberg dan piaget percaya bahwa hubungan dengan teman sebaya adalah bagian terpenting dari stimulus sosial yang akan mengembangkan penalaran moral mereka. Hubungan memberi dan menerima yang bersifat mutual dengan teman sebaya memberikan kesempatan bagi anak untuk mengambil peran dan memberikan anak kesempatan merasakan bahwa peraturan dibuat dengan cara yang demokratis. Sedangkan orang dewasa memiliki karakteristik untuk cenderung memaksakan aturan terhadap anak.

 

D.    Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Beberapa perkembangan moral anak usia dini yaitu:

§  Mampu merasakan kasih sayang, melalui rangkulan dan pelukan

§  Meniru sikap, nilai dan perilaku orang tua

§  Menghargai memberi dan menerima

§  Mencoba memahami arti orang dan lingkungan disekitarnya

§  Pada masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat dari orang yang melakukan

§  Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri, melainkan dibuatkan aturan oleh orang dewasa

§  Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau diturunkan oleh sebuah otoritas yang berkuasa

§  Anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak berpikir bahwa mereka harus patuh dan takut terhadap hukuman. Anak tidak akan melanggar aturan karena takut ancaman hukuman dari otoritas

§  Immanent Justice. Sebuah konsep bahwa ketika peraturan dilanggar, maka hukuman akan langsung mengiringi

§  Individualism. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak berpikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau pertukaran yang setara. Jika ia berbuat baik, maka orang juga harus berbuat baik terhadap dirinya.

 

E.    Perkembangan Moral Anak Usia 6 - 12 tahun (SD)

1.   Ciri Khas Perkembangan Anak Usia 6-12 tahun

Pada  umur 6-12 tahun anak biasanya menunjukan ciri-ciri khas sebagai berikut:

a.     Anak sudah memiliki sikap agresif

Sagner (Dalam Elida, 2005: 130) ”tingkah laku agresif yaitu tingkah laku yang cenderung menyakiti orang lain, binatang atau objek”. Tingkah laku agresif bermacam-macam misalnya memukul, berbicara kasar dan tindakan menyerang. Tingkah agresif pada anak cenderung dalam penyarangan fisik. ”Agresif banyak ditentukan oleh faktor lingkungan yaitu melalui model, pemberian hukuman, ganjaran dan perasaan kecewa”( Elida, 2005: 132).

”Anak melakukan perilaku agresif berdasarkan hal yang sering dilihatnya lalu mereka mengidentifikasi diri sama seperti model yang dilihatnnya” (Fanzoi, 2000:13 ).

Tingkah laku individu diperoleh dari hasil balajar melalui pengamatan (observasitas) atas tingkah laku yang ditampilkan oleh model yang dijadikan sebagai model. ”Anak akan menyimpang tingkah laku yang diamati didalam ingatan lalu ia coba untuk mengungkap ulang tingkah laku model yang dialaminya itu” (E. Koeswara, 1988:41).

Bandura (Dalam E.Koeswara, 1988:42) menyimpulkan bahwa ”agresif bisa dipelajari dan terbentuk dalam individu hanya dengan cara maniru atau mencontoh agresi yang dilakukan oleh model yang disenangi”. Motivasi anak untuk mencontoh agresi yang ditampilkan oleh model akan kuat apabila si model memiliki daya tarik yang kuat serta memberikan pengaruh yang menyenangkan bagi diri.

b.     Dorongan rasa ingin tahunya sangat kuat dan besar

Anak sering mengajukan berbagai pertanyaan dan meneliti objek.

c.     Periode aktif produktif.

d.     Suka meimitasi model yang disukainya

Imitasi merupakan proses peniruan, ingin sama dengan individu yang disenangi. Imitasi ini merupakan salah satu mekanisme yang membentuk perilaku anak. ”Anak mempunyai kecenderungan untuk meniru orang lain dan melakukan apa yang dilihatnya” (Chen, 1996:12). ”Anak lebih meniru orang dewasa yang disukainya sebagai model” (Fanzoi, 2000:14)

Melalui proses imitasi anak menunjukan perilaku agresif” (Fanzoi, 2000:13). ”Anak tidak melakukan imitasi sembarangan, mereka lebih sering meniru orang-orang tertentu yang berkuasa, penting atau idola dan memiliki kemiripan yang sama dengan dirinya” (Fanzoi, 2000:14). Dan anak bisa mengimitasi apa yang dilihatnya ditelevisi dan tayangan yang disukai apabila yang memiliki nasip atau kemiripan dengan nya, semakin besar tingkat kemiripan anak dengan model maka semakin besar perilaku imitasi dan agresi  yang ditampilkan anakn (Fanzoi, 2000:32). ”Karakter anak yang masih labil maka akan lebih mudah untuk melakukan imitasi” (Abu Said, 2005:31).

e.     Memiliki ingatan yang sangat kuat mampu berpikir konkret

Fanzoi (2000:34) mengemukan bahwa berdasarkan ”hasil eksperimen yang diperoleh ternyata cuplikan film  sepanjang tujuh menit, bisa menimbulkan pengaruh beberapa jam”. ”Menonton tayangan telivisi mampu membuat orang mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar dari televisi walaupun sekali tayang, dan bisa mengingat 85% dari apa yang mereka lihat dari televisi setelah tiga jam kemudian dan 65% setelah tiga hari kemudian” (Abu Said, 2005:16).

f.      Perkembangan moral dari heteronom ke otonom

Perkembangan moral anak yang berumur 6-7 tahun yaitu perkembangan moral heteronom maksudnya adalah baik buruk segala sesuatu dilihatnya berdasarkan hasil akibat yang dihasilkan. Sedangkan anak yang berumur 8-12 tahun sedang perkembangan moral otonom yang melihat baik buruk sesuatu berdasarkan maksud dan tujuan orang bertingkah laku. Menurut Piaget (Dalam Elida dan Erlamsyah, 2002;100)

”Pada umur 5-7 tahun cara berpikir anak perkembangan berpikir konkret taraf satu”. Anak memahami tingkah laku baik benarnya tergantung apakah tingkah laku itu memuaskan dan menimbulkan kenikmatan pada diri sendiri atau orang lain (hedonisme). Dan pada anak berumur 8-12 tahun perkembangan moralnya yaitu instrumental dan hedonisme dan tahap berpikir kognitif tahap dua.

F.    Perkembangan Moral Anak Usia 13 tahun ke atas

Perkembangan moral usia 13 tahun ke atas menurut  Ormord (2000:134), diantaranya :

1.      Memiliki kemampuan membedakan antara perilaku yang melanggar hak dan harkat manusia dan perilaku yang melanggar kaidah sosial.

2.      Tumbuhnya kesadaran bahwa perilaku yang menimbulkan bahaya fisik dan psikologis secara moral salah.

3.      Tumbuhnya empati dan munculnya usaha untuk menghibur orang-orang yang sedang berkesusahan, terurtama orang yang dikenal baik. 

Michel meringkas lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock, 1980:225) sebagai berikut:

1.      Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.

2.      Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.

3.      Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.

4.      Penilaian moral menjadi kurang egosentris.

5.      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Kehidupan moral merupakan problematika yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.

 

G.   Faktor-faktor Yang Berpengaruh Pada Perkembangan Moral

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral peserta didik, diantaranya , yaitu:

1.   Faktor Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan terdekat dalam diri individu. Termasuk disini pola asuh orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak memberi pengaruh dalam pembentukan dan perkembangan moral anak. Kualitas hubungan dan komunikasi orang tua dengan anak.

Menurut teori psikonalisa ”moralitas atau kesusilaan adalah bagian dari kata hati atau superego seseorang” (Sarlito W, 1976:18). Superego terbentuk pada anak karena mengidentifikasikan orang tua yang sejenis kelamin. Ini berarti hilangnya sifat ”Oedipus Complex”

Menurut Freud (Dalam Mudjiran, 2000:93) ”baik pria atau wanita meniru tingkah laku orang tua yang sejenis kelamin sama adalah karena keinginan untuk menjadi seperti  orang tua”. ”Anak laki-laki seperti ayah dan anak perempuan ingin seperti ibunya. Peniruan terhadap orang tua bukan karena takut tidak diterima” demikian Bronfenbrenner (Dalam Mujiran, 2000:93). Selanjutnya Bronfenbrenner (Dalam Mujiran, 2000:93)  mengemukakan bahwa seorang anak meniru seluruh  atau sebagain aspek-aspek tingkah laku orang tua mereka yang berikut, yaitu :

§   Keseluruhan tingkah laku

§   Motivasi

§   Aspirasi

            Aspek-aspek tingkah laku yang ditiru dari orang tua dipadukan atau diuji dengan kenyataan yang berada dalam lingkungan, sehingga terjadilah indetifikasi analitik yang hasilnya identifikasi tingkah laku yang diperoleh.

Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:110), ”mencoba mengetahui hubungan antara perkembangan moral anak dengan disiplin orang tua”. Temuan penelitian mereka menyimpulkan bahwa orang tua yang mempergunakan teknik disiplin cenderung menyebabkan perkembangan moral anak sangat baik, sedangkan penggunaan disiplin berkuasa atau otoriter cenderung menyebabkan perkembangan moral anak yang lemah.

Hal ini disebabkan penggunaan teknik induksi menyebabkan meningkatkan kemampuan kognitif yang berpengaruh besar terhadap pemahaman moral. Keadaan ini tidak terjadi jika digunakan teknik disiplin yang lain seperti teknik menghukum dan memgabaikan. Menurut Hoffman dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:110) ”penggunaan penarikan cinta (love- withdrawal) tidak mendukung perkembangan moral anak, karena teknik ini terlalu menyuburkan perasaan bersalah yang irrasional dalam diri anak, namun tidak kuat menahan godaan”. Hoffman (Dalam Elida, 2005:111), juga meneliti pengaruh keberadaan orang tua lelaki dalam keluarga terhadap perkembangan moral anak. Anak pria yang ayahnya tidak ada, skor moralnya lebih rendah dari anak pria yang ayahnya tinggal bersama. Terjadi peristiwa ini dapat dikelaskan sebagai berikut :

a.    Para ayah dapat memberikan pengarahan langsung cara bertingkah laku yang sesuai dengan standar moral, dalam situasi yang tidak disiplin.

b.    Peranan disiplin dari ayah menjadi terancam, kalau disiplin terlalu banyak ditangani oleh ibu. Memang tidak dapat disangkal bahwa pengaruh ibu lebih besar terhadap perkembangan moral anak daripada pengaruh ayah.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan Hoffan dan Saltztein (Dalam Elida, 2005:111) tentang hubungan antara disiplin orang tua dan perkembangan moral anak dapat disimpulkan  sebagai berikut :

a.    Orang tua dapat menonjolkan kekuasaan dalam mendisiplinkan anak, dapat melemahkan perkembangan moral anak.

b.    Orang tua yang melaksanakan disiplin penarikan cinta, menimbulkan pengaruh buruk atau negatif bagi perkembangan moral anak.

c.    Orang tua yang menggunakan disiplin induksi, dapat meninggalkan perkembangan moral anak.

d.    Disiplin yang dilakukan ayah jarang mempengaruhi perkembangan moral anak.

Perasaaan kasih sayang yang diberikan orang tua melalui tingkah laku yang ramah hangat, dan sentuhan-sentuhan fisik, sangat positif akibatnya terhadap perkembangan moral anak, terutama kasih sayang dari ibu.

2.   Faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara semua unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat  penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Seberapa banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman,orang-orang yang terkenal dan hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal. Perubahan dan kemajuan dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat ditengah perubahan dapat terjadi kemajuan/kemerosotan moral. Perbedaan perilaku moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan perkembangan moral secara berkondisi.

3.   Tingkat penalaran. Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi oleh perkembngan nalar sebagai mana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.

4.   Faktor interaksi sosial, termasuk disini adalah factor teman. Seberapa besar faktor sosial dalam memberikan kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standar perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.

5.   Faktor Budaya/kebudayaan

Kohlberg mengatakan bahwa tahap perkembanagn moral merupakan suatu yang bersifat universal, tidak tergantung pada kebudayaan. Namun, faktor kebudayaan mempunyai peran dalam perkembangan moral, yaitu pada tempo (waktu) dan kecepatan perkembangannya. Kebudayaan akan mempengaruhi cepat lambatnya pencapaian tahap-tahap perkembangan moral dan juga mempengaruhi batas tahap perkembangan yang dicapai. Dengan kata lain, bahwa individu yang mempunyai latar budaya tertentu dapat berbeda perkembangan moralnya dengan individu lain yang berasal dari kebudayaan lain.

 

H.   Usaha Dalam Meningkatkan Penanaman Moral Pada Anak Usia Dini

Beberapa Usaha Untuk meningkatkan Perkembangan Moral pada Anak Usia Dini :

1.      Pembelajaran nilai-nilai agama sejak dini

2.      Metode bercerita

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, cerita diartikan dalam beberapa pengertian,  yaitu:  1)  tuturan  yang  membentangkan  bagaimana  suatu  hal  atau peristiwa, kejadian dan sebagainya, 2) karangan  yang  menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian dan sebagainya, baik yang sungguh-sungguh maupun rekaan belaka, 3) lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dan digambar hidup seperti sandiwara, wayang dan sebagainya. Azis Mustafa  dan  Imam  Musbikin  (2003:5)  membedakan  antara bercerita dengan mendongeng. Perbedaannya adalah dongeng merupakan cerita khayalan atau karangan, sedangkan cerita bisa khayalan atau karangan, tetapi  bisa  pula  kenyataan.  Akan  tetapi  keduanya  juga  memiliki  persamaan,  yaitu sama-sama bertujuan untuk menyampaikan pesan. Cerita  sering  digunakan  oleh  para  guru  untuk  menyampaikan  pesan kepada peserta didiknya. Penggunaan cerira ini bukan tanapa alasan. Bercerita memiliki  manfaat    yang  banyak.  Abbas  (2005:3)  mengungkapkan  bercerita sebagai  metode  atau  media  pendidikan  mempunyai  fungsi:  1)  menyajikan kebenaran  yang  abstrak  menjadi  jelas,  2)  mengembangkan  imajinasi,  3) membangkitkan  rasa  ingin  tahu,  4)  mempengaruhi  perasaan,  5)  melatih  daya tangkap  dan  konsentrasi,  6)  membantu  perkembangan  fantasi,  7)  menambah pengetahuan, 8) mengembangkan kemampuan berbahasa. Otib  Satibi  Hidayat  (2005),  mengungkapkan  beberapa  makna  penting bercerita  bagi  anak  TK  sebagai  berikut:  1)  mengkomunikasikan  nilai-nilai budaya, 2) mengkomunikasikan nilai-nilai sosial, 3) mengkomunikasikan nilai-nilai  agama,  4)  menanamkan  etos  kerja,  etos  waktu  dan  etos  alam,  5) membantu  mengembangkan  fantasi  anak,  6)  membantu  mengembangkan dimensi kognitif anak, 7) membantu mengembangkan dimensi bahasa anak. Aziz Mustofa dan Imam Musbikin (2003:6) mengungkapkan apabila dilihat dari isi ceritanya dongeng mempunyai kekuatan dalam membangun imajinasi anak, menanamkan nilai-nilai etika, menanamkan rasa simpati, rasa kesetiakawanan pada sesama,  yang  akhirnya  akan  membentuk  kepribadian  pada  seorang  anak.  Jadi dongeng  mempunyai  fungsi  bukan  sekedar  alat  komunikasi  tetapi  juga  alat menanamkan nilai. Tadzkiroatun  Musfiroh  (2003:78),  menuliskan  manfaat  bercerita  sebagai berikut: 1) mengasah imajinasi anak, 2)mengembangkan kemampuan berbahasa, 3) mengembangkan  aspek  sosial,  4)  mengembangkan  aspek  moral,  5) mengembangkan  kesadaran  beragama,  6)  mengembangkan  aspek  emosi,  7) menumbuhkan semangat berprestasi, dan 8) melatih konsentrasi anak.

Dari  beberapa  uraian  di  atas  jelaslah  bahwa  bercerita  atau  mendongeng sangatlah  penting  dilakukan  untuk  kehidupan  anak,  mengingat  manfaatnya  yang sangat  banyak.  Cerita  yang  diberikan  kepada  anak  disesuiakan  dengan  aspek perkembangan anak dan juga pesan yang akan disampaiakan kepada anak. Bercerita  dapat  dijadikan  metode  untuk menyampaikan  nilai-nilai  yang  berlaku  dalam  masyarakat  (Otib  Satibi  Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral,  nilai  agama,  nilai  sosial,  nilai  budaya,  dan  sebagainya.  Ketika bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak  yang  belum  mampu  berpikir  secara  abstrak.  Alat peraga  yang  dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa.

3.      Metode  Bernyanyi. 

Metode  bernyanyi  adalah  suatu  pendekatan pembelajaran  secara  nyata  yang  mampu  membuat anak senang dan  bergembira. Anak  diarahkan  pada  situasi  dan  kondisi  psikis  untuk  membangun  jiwa  yang bahagia,  senang  menikmati  keindahan,  mengembangkan  rasa  melalui  ungkapan kata dan  nada. Pesan-pesan pendidikan  berupa  nilai  dan  moral  yang dikenalkan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak  dapat  disamakan  dengan  orang  dewasa.  Anak  merupakan  pribadi  yang memiliki  keunikan  tersendiri.  Pola  pikir  dan  kedewasaan  seorang  anak  dalam menentukan sikap dan perilakunya  juga  masih  jauh dibandingkan dengan orang dewasa.  Anak  tidak  cocok  hanya  dikenalkan  tentang  nilai  dan  moral  melalui ceramah atau tanya jawab saja. 

4.      Metode  Bersajak, Berpuisi  atau  Syair. 

Pendekatan  pembelajaran  melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-kanak sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu,  dan  ingin  melakukan  sesuatu  yang  belum  pernah  dialami  atau dilakukannya.  Melalui  metode  sajak  guru  bisa  menanamkan  nilai-nilai  moral kepada  anak.  Sajak  ini  merupakan  metode  yang  juga  membuat  anak  merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam suasana indah,  halus,  dan  menghargai  arti  sebuah  seni.  Disamping  itu  anak  juga  bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam sajak itu. Secara  nilai  moral,  melalui  sajak  anak  akan  memiliki  kemampuan  untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)

5.      Metode  Karyawisata.

 Metode  karya  wisata  bertujuan  untuk mengembangkan  aspek  perkembangan  anak  Taman  Kanak-kanak  yang  sesuai dengan  kebutuhannya.  Misalnya  pengembangan  aspek  kognitif,  bahasa, kreativitas,  emosi,  kehidupan  bermasyarakat,  dan  penghargaan  pada  karya  atau jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang  sesuai  dengan  pengembangan  aspek  perkembangan  anak  Taman  Kanak-kanak. Tema yang sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan.

6.      Pembiasaan  dalam  berperilaku. 

Cara yang efektif dalam penanaman  moral,  lebih  banyak  dilakukan  melalui  pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada  berdoa  sebelum  dan  sesudah  belajar,  berdoa  sebelum  makan  dan  minum, mengucap  salam  kepada  guru  dan  teman,  merapikan  mainan  setelah  belajar, berbaris  sebelum  masuk  kelas  dan  sebagainya.  Pembiasaan  ini  hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.

 

7.      Metode  Bermain. 

Dalam  bermain  ternyata  banyak  sekali terkandung nilai moral, diantaranya mau mengalah, kerjasama, tolong menolong, budaya  antri,  menghormati  teman.  Nilai  moral  mau  mengalah  terjadi  manakala siswa mau mengalah terhadap teman lainnya yang lebih membutuhkan untuk satu jenis  mainan.  Pengertian  dan  pemahaman  terhadap  nilai  moral  mau  menerima kekalahan atau mengalah adalah salah satu hal yang harus ditanamkan sejak dini. Seringkali terjadi sikap moral tidak terpuji seperti perusakan dan tindakan anarkis lainnya  yang  dilakukan  oleh  oknum  tertentu  ketika  ia  kalah  dalam  suatu persaingan, misalnya dalam pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, atau bahkan dalam  pemilihan  presiden.  Oleh  karena  itu  betapa  penting  untuk  menanamkan nilai moral untuk mau menerima kekalahan sejak usia dini.

8.      Bermain Peran.

Bermain peran  merupakan  salah satu metode yang  digunakan  dalam  menanamkan  nilai  moral  kepada  anak  TK.  Dengan bermain  peran  anak  akan  mempunyai  kesadaran  merasakan  jika  ia  menjadi seseorang  yang  dia  perankan  dalam  kegiatan  bermain  peran.  Misalnya tema bermain  peran  tentang  kasih  sayang  dalam  keluarga.  Anak  akan  merasakan bagaimana seorang ayah harus menyayangi anggota keluarga, bagaimana seorang ibu harus menyayangi keluarga, begitu juga bagaimana dengan anak-anaknya.

9.      Metode  diskusi.

Diskusi  yang  dimaksud  di  sini  adalah mendiskusikan  tentang  suatu  peristiwa.  Biasanya  dilakukan  dengan  cara  siswa diminta untuk memperhatikan sebuah tayangan dari CD, kemudian setelah selesai siswa  diajak  berdiskusi  dengan  guru  tentang  isi  tayangan  CD  tersebut.  Isi diskusinya  antara  lain  mengapa  hal  tersebut  dilakukan,  mengapa  anak  itu dikatakan baik, mengapa harus menyayangi dan sebagainya. 

10.   Metode Teladan. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370)  guru  moral  yang  ideal  adalah  mereka  yang  dapat  menempatkan  dirinya sebagai  fasilitator,  pemimpin,  orang  tua  dan  bahkan  tempat  menyandarkan kepercayaan,  serta  membantu  orang  lain  dalam  melakukan  refleksi.  Guru hendaknya  menjadi  figur  yang  dapat  dicontoh  dalam  bertingkah  laku  oleh siswanya. Secara  kodrati  manusia  merupakan  makhluk  peniru  atau  suka melakukan  hal  yang  sama  terhadap  sesuatu  yang  dilihat.  Apalagi  anak-anak,  ia akan  senantiasa dan  sangat  mudah  meniru sesuatu  yang  baru dan  belum pernah dikenalnya, baik itu perilaku maupun ucapan orang lain. 

 

I.      Upaya Mengembangkan Moral Anak / Pendidikan Moral untuk Anak

Orang tua sangat besar peranannya dalam perkembangan moral anak. Tidak seorang pun ahli perkembangan moral anak yang membantah bahwa moral anak terbentuk melalui hubungan sosial. Hubungan sosial pertama yang dialami anak dalam hidupnya adalah orang tuanya. Orang tua brperan besar dalam membentuk tingkah laku altruitis, role taking,dan perasaan bersalah pada anak. Kasih sayang orang tua terhadap anak, membangun sistem interaksi yang bermoral antara anak dengan orang lain. Hubungan  dengan orang tua yang hangat, ramah, gembira, dan kasih sayang, merupakan pupuk bagi perkembangan moral anak.

Pengembangan tingkah laku  moral tidak lepas dari berbagai peran  keluarga adalah sebagai berikut :

a.       Memperkenalkan nilai moral yang berlaku di masyarakat.

Di negara kita ada empat sumber nilai yang dijadikan pedoman dalam bertingkah aku, yaitu agama, ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (Pancasila) dan adat istiadat. Anak harus diperkenalkan dengan aturan-aturan berhubungan sosial yang sesuai dengan keempat sumber nilai itu. Kebiasaan yang berlaku di masyarakat tidak boleh bertentangan dengan keempat sumber nilai itu. Kalau terjadi pertentangan nilai yang berlaku di masyarakat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam keempat  sumber itu, maka anak akan mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat, karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa anak akan bertingkah laku yang dianggap baik oleh orang dewasa  sekitarnya walaupun tidak sesuia dengan moral. Dalam bertingkah laku mereka belum mempunyai kesadaran untuk berpegang teguh pada prinsip moral, tetapi cenderung mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang dewasa dalam masyarakat sekitarnya.  

b.      Menciptakan Komunikasi

Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang moral. Anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.

c.       Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi

Lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina, yaitu orang tua dan guru.

d.      Mendorong perilaku dan perkembangan moral di dalam kelas

Beberapa individu yang beritikad baik menyatakan bahwa mesyarakat sedang mengalami kemerosotan moral yang drastis dan mendesak para orang tua dan para pendidik untuk menanamkan nilai-nilai moral yang baik (kejujuran, kesetiaan, tanggungjawab, dan lain-lain) melalui pelajaran di rumah dan di sekolah, serta melalui kontrol yang tegas terhadap perilaku anak-anak. Kenyataannya tidak ada bukti generasi anak muda sekarang berada pada pada tingkat moral atau proposional yang rendah dibandingkan dengan generasi terdahulu (Turiel dalam Jeanne, 2000:141). Selain itu, mengajari siswa mengenai perilaku yang tepat secara moral dan menerapkan kontrol yang tegas terhadap tindakan mereka dalam rangka menanamkan serangkaian moral tertentu hanya memiliki sedikit dampak terhadap mereka.

e.    Memperkuat tingkah laku altruistik.

Seperti halnya pengembangan tingkah laku sosial, tingkah laku altruistik memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan moral anak. Tingkah laku suka menolong, membagi milik sendiri kepada teman sebaya merupakan contoh tingkah laku altruistik. Pada periode sekolah dasar, tingkah laku altruistik dapat dikembangkan secara baik dengan merangsang perkembangan tingkah laku empati terlebih dahulu. Hoffman (Dalam Elida, 2005: 175) mengungkapkan bahwa ”penguasaan tingkah laku empati merupakan dasar bagi perkembangan moral anak”. Tingkah laku empati dapat dilihat dari kemampuan anak untuk merasakan orang lain. Misalnya, seorang anak melihat temannya yang bersedih karena kehilangan pencil. Anak  itu dapat menghayati perasaan temannya dan mengerti bahwa temannya sedang sedih. Kalau anak menghibur atau membantu kawannya itu tidak sdih, maka tingkah laku ini disebut altruistik

f.     Membangkitkan perasaan bersalah

Untuk membangkitkan perasaan  bersalah jika melakukan sesuatu yang melanggar moral, orang tua dan guru perlu memahami tentang timbulnya perasaan bersalah dari aspek moral dalam diri anak, seperti yang dikemukan oleh Hoffman (Dalam Elida, 2005:177) sebagai berikut : 

1)      Perasaan bersalah mulai dapat dialami anak pada umur dua tahun namun belum sempurna. Pada umur enam tahun anak telah memiliki perasaan bersalah yang sempurna.

2)      Pembiasaan disiplin yang mementingkan kesadaran anak tentang akibat tingkah lakunya terhadap orang lain dapat mengembangkan  perasaan bersalah. Disiplin seprti ini disebut disiplin dengan teknik induksi.

3)      Membangkitkan perasaan empati atau cepat merasakan perasaan orang lain sehingga dapat meningkatkan perasaan bersalah.

4)      Timbulnya perasaan bersalah dalam diri anak, dapat mengubah atau memperbaiki tingkah laku anak terhadap korban kejahatan.

5)      Perasaan bersalah kadang – kadang menimbulkan tingkah laku meninjau dan menilai diri sendiri, sehingga dalam bertindak tidak dikuasai oleh kepentingan diri sendiri.

6)      Perasaan bersalah dapat juga dikembangkan  dengan memberikan contoh.

7)      Perasaan bersalah dapat juga dilakukan dengan disiplin penarikan cinta.

g.      Memperkuat  kata hati

Pengembangan kata hati merupakan usaha memperkuat kata hati itu sendiri. Memperkuat kata hati berarti mengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan bersalah. Oleh karena itu, sebenarnya cara mengembangkan kata hati tidak berbeda  dengan pengembangkan tingkah laku altruistik, role taking, dan perasaan bersalah.   Sutton dan Smith (Dalam Elida, 2005: 178) mengemukakan cara-cara membentuk kata hati anak, dengan maksud lebih memantapkan keyakinan para orang tua dan guru tentang perlunya usaha mengembangkan moral anak. Cara itu adalah sebagai berikut :

h.      Memberikan model

Orang tua dan guru merupakan model yang sangat penting dalam pengembangan moral anak. Anak meniru tingkah laku orang tua dan gurunya. Oleh karena itu orang tua yang mempunyai kata hati yang kuat akan ditiru oleh anak-anak.

i.        Menerapakan disiplin

Ada beberapa teknik untuk menerapkan disiplin, diantaranya adalah  sebagai berikut :

1)   Teknik disiplin dengan cara mencari penyebab kesalahan bertingkah laku.

2)   Teknik disiplin dengan cara ”induksi” yaitu dengan memberikan penjelasan mengapa anak dilarang atau dibolehkan melakukan tindakan tertentu.

3)   Teknik disiplin dengan membangkitkan perasaan bersalah.

4)   Teknik disiplin dengan penarikan cinta.

 

  

DAFTAR PUSTAKA

 

Budiningsih, Asri, 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Desmita. 1993.  Psikologi Perkembangan Peserta Didik.Jakarta:Rosda Karya.

Elida Prayitno. 2005. Perkembangan Anak Usia Dini dan Usia SD. Padang : Angkasa Raya.

Santrock, John.W. 2007 Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sarlito W Sarwono.1976. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Upton, Penney. 2012. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga    

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung di blog saya, semoga bermanfaat. Jangan lupa komen ya